Jumat, 17 September 2010

Curug Perak Expedition




SAATNYA MENENTUKAN ARAH HIDUP ANDA
Perjalanan ini adalah perjalanan hati, menempuh keindahan hati, dan pencapaiannya juga dengan hati, rasa dan mentalpun terbentuk dengan hati, inilah indahnya pengalaman hati yang setiap saat menggunakan hati.
Bagaimana dengan anda? Saya mempunyai pertanyaan, kemanakah energi diri anda mengalir? Mengalir ke bawah atau mengalir ke atas?  Energi anda yang dikatakan sekian puluh ribu BTU dan bertenaga 120 volt dan pembangkitnya berpusat disekitar pusar.
Jika energi diri anda mengalir kebawah (dari otak ke hati), instink-instink hewani dalam diri anda akan terangsang dan bangkit mencari mangsa, kemudian demi kenyamanan diri, anda bisa mencelakakan siapa saja dan bisa berbuat apa saja, hidup anda sepenuhnya dikendalikan oleh alam bawah sadar. Jika anda berada pada kesadaran ini anda akan menjadi alot, keras, kaku kemudian kekerasan akan dibenarkan sebagai objektivitas, kealotan akan dibenarkan sebagai sesuatu yang logis dan kekakuan akan dibenarkan sebagai rasionalitas.
Sebaliknya jika energi diri anda mengalir keatas (dari hati ke otak), energi itu akan membuat anda kreatif dan kontruktif, anda menjadi unik, orisinil dan karena itu anda akan menjadi berkah dilingkungan sekitar anda. Hidup anda mulai dikendalikan oleh alam kesadaran supra, anda menjadi lembut, penuh dengan pengertian dan kasih, yang anda cari bukan lagi pembenaran tetapi “Kebenaran”.

By : Doel Dare


...dalam perjalanan menuju Curug Perak, kami terbuai dengan elok dan sejuknya suasana di Curug1 ini, betapa tidak ditengah kelelahan dan hausnya tenggorokan mendapat sumber air yang layak diminum berdasarkan Ilmu Survival yang kami pelajari dalam latihan dasar keorganisasian Pecinta Alam JELANTARA.
Lihat selengkapnya...

 Artikel dari : http ://www.wikimu.com dan selengkapnya klik disini

Pencinta Alam, seringkali diidentifikasikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan alam. Menjelajah gunung, menyusuri gua, mengarungi keajaiban dasar samudera, merambah belantara nan sunyi dan sederet kegiatan ‘alam’ lainnya.
Tentang pencinta sendiri di negeri kita, seringkali kegiatan yang dilakukan hanya sebatas sloganisasi belaka, sebatas mereka menikmati alam untuk diri sendiri, sebatas mencari kepuasan untuk kepentingan pribadi. Pencinta Alam ( baca: mereka yang menamakan diri sebagai Pencinta Alam) sering kali melakukan banyak aktivitas yang justru mengganggu keseimbangan alam. Menjelajah gunung dan membuat jejak-jejak disana, mencoret batu-batu di puncak, membuang sampah non organik ke sembarang tempat, membuat api unggun yang seringkali lupa dimatikan, memetik Edelweiss hingga beratus-ratus tangkai….
Saat masih sekolah dulu, pernah juga terlibat dalam kegiatan yang menamakan diri sebagai “Pencinta Alam”. Jujur, kala itu orientasi saya hanya mencari background yang bagus untuk foto-foto saya. Rasanya bangga sekali bila berhasil “menaklukan” puncak-puncak tertinggi. Memang, rasanya damai sekali di tengah kesunyian alam, menikmati keindahan kota nun jauh disana yang tertutup sebagian kabut, menyaksikan keajaiban sunrise dan sunset kala cuaca bersahabat. Dengan apapun, itu tak akan pernah bisa tergantikan.
Hanya saja, yang sering mengganggu saya, seringkali di perjalanan menuju puncak banyak sampah berserakan. Tentunya, ini adalah sampah yang dibawa oleh para pendaki karena sebagian besar makanan yang dibawa khas sekali. Sampai di puncak? Wah… lebih ngeri lagi. Bebatuan yang semestinya terlihat asri dan indah penuh coretan. Untuk apa? Sialnya coretan-coretan itu seringkali membawa nama sekolah, nama kampus yang notabene lebih ‘terpelajar’ dari pada para pendaki liar.
Saya pernah merasa malu sekali ketika dalam sebuah pendakian kami secara kebetulan berpapasan dengan pendaki dari mancanegara. Dengan sebuah kantong besar, mereka menuruni gunung sambil memunguti aneka macam sampah yang terserak. Wah, rasanya kami tak punya muka lagi untuk menatap mereka. Tentu, bukan karena sampah yang mereka pungut adalah sampah kami, melainkan karena kepedulian mereka akan alam. Sementara, para pendaki lokal yang (seharusnya) memiliki kesadaran lebih, justru mengabaikannya.
Sebuah organisasi Pencinta Alam (yang biasanya ngetren di kalangan mahasiswa) seharusnya bukan sekadar sebuah tempat bernaung bagi mereka yang senang bertualang saja atau menghabiskan anggaran dana di kampus. Ironis membayangkan mereka melakukan pendakian besar-besaran yang menelan biaya tinggi sampai ke luar negeri, sementara, di negeri sendiri, negeri yang (seharusnya) elok dan kaya akan hutan tropis perlahan mulai kehilangan identitasnya. Pencurian kayu, pembabatan hutan secara liar luput dari penyelamatan sang ‘pencinta alam’ Pencinta Alam.
Dalam konteks bahasa adalah seseorang yang sangat mencintai alam. Mencintai berarti melakukan banyak hal untuk sesuatu/seseorang yang dicintai. Mencoba membahagiakan sesuatu/seseorang yang kita cintai dengan tulus. Melakukan banyak hal agar sesuatu/seseorang yang dicintai merasa nyaman. Mencintai itu tanpa sederet syarat apapun, Mencintai itu sesuatu yang tulus, tanpa pamrih. Mencintai Alam, sama halya dengan melakukan banyak hal untuk alam, tanpa syarat-syarat khusus, tanpa dibarengi rasa keegoisan untuk memiliki alam secara individual, tanpa mengabaikan apa yang sebetulnya dibutuhkan oleh alam. Semua harus dilakukan tanpa pamrih, pamrih untuk dimunculkan di media massa, tanpa pamrih di puji banyak pihak, tanpa pamrih untuk mendapat dukungan dana berlebih yang pada akhirnya digunakan entah kemana. Mencintai alam, mencintai wujud ciptan-Nya, mengasihi setiap apa yang ada di dalamnya. Memulai dari hal kecil di sekitar kita. Meski kecil, andai setiap orang melakukannya pasti hasilnya menjadi lebih berarti.
JELANTARA Expedition In Cipanyi, Ciwidey
 Photo By : JELANTARA The Nature Expoler