Minggu, 24 Oktober 2010

Wisata Alam Gunung Manglayang



“Menapaki menara penjaga di timur rangkaian tiga gunung Legenda Sangkuriang – Burangrang – Tangkuban Perahu – Bukit Tunggul”
Gunung Manglayang – gunung yang tidak disebut-sebut dalam Legenda Sangkuriang. Karena dari legenda tersebut diceritakan bahwa perahu dari Sangkuriang telah terbalik dan berubah menjadi Gunung Tangkuban Perahu; tunggul pohon yang tersisa bekas bahan pembuatan perahu Sangkuriang tetap berdiri menjadi Gunung Bukit Tunggul sedangkan tajuknya atau ranting-rantingnya tergeletak menjadi Gunung Burangrang. 
Dalam rangkaian gunung-gunung Burangrang – Tangkuban Perahu – Bukit Tunggul – Manglayang; Gunung Malanglayang yang mempunyai ketinggian ±1818 mdpl, menjadi gunung yang terendah dari rangkaian ke empat gunung tersebut. Mungkin itulah sebabnya di kalangan para penggiat alam bebas gunung ini sempat terlupakan terkecuali para penggiat alam bebas dari Bandung dan sekitarnya. Namun begitu Gunung Manglayang juga menawarkan pesona alamnya tersendiri. Untuk mendaki gunung ini ada beberapa jalur yang bisa digunakan yaitu melalui Bumi Perkemahan atau Wanawisata Situs Batu Kuda (Kab. Bandung), Palintang (Ujung Berung, Kab. Bandung), Baru Beureum/Manyeuh Beureum, Jatinangor.
Perjalanan yang melintasi Jatinangor masih tersendat saat saya tiba gerbang kampus yang menuju Unpad (Universita Padjajaran) dan Unwim (Universitas Winawayamukti) yang juga bersebelahan dengan kampus STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) sekitar pukul setengah sebelas siang.
Dengan menggunakan ojeg sepeda motor saya melanjutkan perjalanan menuju entry point pendakian yaitu Kampung Baru Beureum atau Manyeuh Beureum. Untuk menuju ke kampung tersebut kita dapat menggunaka ojeg motor melalui kampus Unpad (Universita Padjajaran) dan Unwim (Universitas Winawayamukti) yang juga bersebelahan dengan kampus STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri). Perjalanan menuju lokasi titik awal pendakian cukup menyenangkan karena melintasi beberapa gedung dengan arsitektur cukup indah yang berada di kampus Unpad maupun Unwim, lapangan golf, kemudiam memasuki gerbang Bumi Perkemahan Kiara Payung. Bumi perkemahan yang cukup rapih, bersih ini mempunyai fasilitas yang lengkap, maklum saja karena lokasi ini pernah dijadikan tempat diselenggarakan Jambore Pramuka Nasional 2006.
Sepanjang perjalanan setelah melintasi Buper Kiara Payung kemudian melintasi perkampungan hingga akhirnya tiba di Baru Beureum. Di tempat ini kita dapat membeli nasi bungkus dan beberapa air mineral di warung Ibu Ipah atau Bapak Maman. Warung satu-satunya yang terdapat di lokasi ini biasa buka setiap hari. Di sini juga terdapat bangunan semacam pos.
Menurut cerita Pak Maman, dulu pada jaman penjajahan Belanda disekitar kaki Gunung Manglayang ini merupakan afdeling atau perkebunan. Untuk menjada perkebunan tersebut ada sebuah bangunan yang keseluruhannya berwarna merah. Itulah sebabnya daerah ini dinamakan Baru Beureum.
Trek di awali dari belakang warung Ibu Ipah dengan meliwati sebuah sungai kecil. Karena hujan juga cukup lama tidak turun trek awal pendakian yang bisa dikatakan cukup curam ini terlihat sangat kering dan berdebu. Pepohonan pada awal-awal tidak begitu rimbun bahkan lebih didominasi sejenis pohon perdu, hingga perjalanan siang itu udara panas terasa cukup menyengat saya. Namun pemandangan yang dapat saya nikmati sepanjang perjalanan pada sebagian lembahnya cukup menarik. Pada satu sisi dapat melihat sebagian wilayah Jatinangor dan pada sisi yang lain dapat melihat hijaunya lembah yang berada persis di kaki puncak Gunung Manglayang.
Trek pendakian melalui jalur timur G. Manglayang mempunyai kemiringan berkisar 45 – 75 derajat dan nyaris tanpa bonus atau jalur yang mendatar. Namun ada beberapa tempat yang sedikit datar bisa dijadikan tempat untuk sekedar beristirahat. Jika diumpamakan trek pendakian melalui jalur timur, Baru Beureum ini mirip trek pendakian Gunung Gede melalui jalur gunung putrid.
Semakin siang cuaca yang saya rasakan semakin panas, untung saja jalur pendakian kemudian tidak seterbuka pada awal-awal perjalanan. Angin yang bertiup perlahan diantara rimbunnya pepohonan yang tidak begitu rapat juga suara-suara burung dapat sedikit memberikan kenyamanan sepanjang perjalanan. Kira-kira setengah jam perjalanan dari Baru Beureum sebuah pohon besar yang tampaknya sudah sebagian tumbang atau sengaja ditebang menarik perhatian saya. Dari lingkaran batangnya sepertinya usianya sudah mencapai ratusan tahun. Tetapi bukan hanya karena besarnya pohon tersebut yang membuat langkah saya terhenti, melainkan pemandangan disisinya yang indahlah yang utama. Tampak lembah Gunung Manglayang yang hijau dengan latar belakang pegunungan disekitarnya yang membiru di bawah langit yang cerah.
Pemandangan Menakjubkan Puncak Timur gunung Manglayang
Setelah berjalan melintasi trek pendakin yang cukup melelahkan tidak sampai setengah jam akhirnya saya tiba di Puncak Timur Gunun Manglayang. Lokasinya yang terbuka memanjang sekitar 10-15 meter dengan lebar sekitar 2-2,5 meter ini menawarkan pemandangan yang begitu menarik. Dari puncak timur ini saya dapat melihat pemandangan sekitarnya. Pegunungan yang mengelilingi di sekitarnya dapat terlihat cukup jelas. Jika malam pemandangan dari sini akan terlihat indah dengan pancaran sinar lampu-lampu dari wilayah Jatinangor. Namun sayang saya tidak berniat bermalam saat itu. Tampak pula di sebelah barat hutan yang cukup rimbun menutupi puncak Gunung Manglayang.
Keasrian Puncak Gn. Manglayang
Ppuas beberapa saat menikmati suasana puncak timur kita dapat melanjutkan kembali perjalanan munuju puncak Manglayang. Jalur pendakian menuju puncak Gunung Manglayang dari puncak timur relative landai dan cukup mengasyikkan. Suasana hutan yang rimbun serta jalur yang bersih menjadikan perjalanan yang saya tempuh tidak sampai setengah jam terasa lebih cepat. Suasana puncak Gunung Manglayang hampir mirip dengan suasana sekitar puncak Salak I. Cukup luas dimana bisa menampung cukup banyak tenda dengan lokasi yang terlindung oleh rimbunnya pepohonan. Begitu sampai puncak saya langsung dihadapkan sebuah gundukan batu yang disusun menjadi semacam makam. Dan menurut informasi makan tersebut merupakan tempat yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar Gunung Manglayang. Hanya sekitar 15 menit saya menikmati suasana sekitar puncak ini. Perjalanan kemudian saya lanjutkan kembali untuk turun melalui jalur barat menuju Bumi Perkemahan Situs Batu Kuda.
Perjalanan turun dari melalui jalur ini mirip seperti jalur Salak I melalui jalur Cidahu. Dimana jalur yang harus saya lalui cukup curam dan beberapa kali harus merayap turun karena jalurnya curam terdiri dari batu-batuan. Dari sini seharusnya saya melalui puncak barat terlebih dahulu, karena ingin lebih cepat sekitar setengah jam perjalanan turun saya langsung belok kiri dimana jalur tersebut memang tidak terlalu jelas namun merupakan jalur terabas menuju Buper Batu Kuda. Jalur yang saya lalui ini tidak perlu melalui puncak barat namun menjadi lebih curam dan cukup licin. Sekitar lima belas menit pertama jalur tidak begitu jelas namun berikutnya langsung jalan setapaknya tampak jelasterlihat. Setelah melintasi hutan kemudian saya melintasi hutan bamboo sampai akhirnya mulai memasuki hutan pinus dimana terdapat batu-batu berserakan yang diantaranya berukuran besar-besar. Dan saya sempat melintasi batu besar berbentuk kuda yang menjadi nama dari lokasi wisata atau bumi perkemahan ini. Begitu sampai di lokasi bumi perkemahan ini sekitar pukul tiga sore terlihat banyak para remaja dan pemuda yang sedang berkemah atau sekedar berjalan-jalan menikmati suasana alam dan hutan pinus dari Wanawisata Situs Batu Kuda yang sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti MCK dan warung-warung kecil di sekitarnya.

Source :  http://wisatapasundan.com/